KEWARISAN ETNIK KAILI TINJAUAN HUKUM ISLAM
Pewarisan yang dimaksud dalam etnik kaili adalah proses
perbuatan, cara meneruskan atau mewarisi harta peninggalan To-Kaili menurut kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku di masyarakat. Ada tiga hal pokok yang dibicarakan dalam masalah
warisan, yaitu pewaris, ahli waris, dan harta warisan. Ketiga hal tersebut
merupakan unsur kumulatif, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
karena merupakan rangkaian atau akibat dari yang lain. Bila ternyata ada salah
satu diantara ketiga hal tersebut tidak terpenuhi maka pewarisan tidak dapat
berlangsung. Di daerah Kaili, ahli waris yang mendapat kedudukan
utama ialah anak, orang tua, mawali (posambei), janda atau duda yang terlama
hidup. Ada 4 kategori anak, yaitu anak kandung (ana otea), anak angkat (ana Petuvu), anak tiri (anak
Kamana), dan anak luar kawin (ana Wone). Kedudukan anak kandung baik laki-laki maupun perempuan
dalam pewarisan adalah sama, walaupun kadang-kadang anak perempuan mendapatkan
keistimewaan. Kedudukan anak Tiri (anak Kamana) tidak terhitung
sebagai ahli waris dari bapak atau ibu tirinya. Karena itu ia tidak berhak
untuk mewarisi kekayaan mereka. Ana kamana hanya dapat mewarisi harta Bapak
atau ibu kandungnya saja.Kedudukan anak angkat (anak Petuvu) menurut adat Kaili
tidak termasuk ahli waris orang tua angkat, ia menjadi ahli waris orang tua
kandungnya sendiri.
Menurut kebiasaan masyarakat Kaili, pengangkatan ana
Petuvu dilakukan ketika si anak belum dewasa dan diambil dari lingkungan
keluarga sendiri. To-Kaili tida membedakan apakah anak angkat dari pihak
keluarga suami atau dari pihak istri. Ada berbagai alasan yang dikemukakan
dalam hal mengangkat anak, antara lain :
a.
Rasa belas kasihan dan rasa
ingin menolong meringankan beban keluarga si anak.
b.
Tidak punya anak, karenanya
mengharap ana petuvu dapat menolongnya dihari tua.
c.
Untuk mempererat tali
kekeluarga antara orang tua yang mengangkatnya dengan orang tua anak itu
sendiri.